Cerpen
Dimensi Itu
Karya: Tini Bahagiani
Sosok itu begitu tegap duduk diatas
motornya yang terlihat bersinar di tengah teriknya matahari. Semua orang akan
iri jika melihat tubuhnya yang tinggi menjulang, dan senyum kecil tersimpul di
pipinya.
“Hai
Ta, gimana sekolahnya!” kata Arif dengan tersenyum kecil.
“Akh…ya biasa makananku sehari-hari Fisika, Kimia, Matematika, Biologi dan
semua teman-temanya” keluh Pita.
“Aduh….aduh yang dijemput
pacarnya ehm……ehm……mau nih” goda Nira memotong pembicaraan Pita dan Arif.
“Iya nih kok gak bagi-bagi
sih………”sambung Diza dengan mata yang berkelip.
“Apaan sih kamu Za, yey
mang roti dibagi-bagi, kalau mau mah cari atuh neng, bukannya nunggu sampe
lumutan kayak gitu………”saut Pita sambil menaiki motor.
“Idih……idih……ini mah bukan
lumutan tapi bulukan ha……ha……!” jawab Diza sambil cengengesan yang terdengar
memang masih mempertahankan bahasa sundanya. Yah.. walaupun karena terkena efek
global warming akhir-akhir ini, bahasa sundanya pun terdengar campur aduk
dengan bahasa indonesia.
“Sama aja kali Za” keluh
Nira yang sudah maklum dengan sifat Diza.
“Gak-gak sekarang bener
ngebelanya, yey……belum ada aja pangeran yang lihat mutiara-mutiara indah ini,
haaa……sekarang benerkan ye……tumben ya aku cerdas he…he…!”sombong Diza berusaha
membela kaum jomblonya sekaligus memuji dirinya sendiri.
“Ah udah ah
daaah………neng-neng jomblo” jawab Pita dengan meledek.
“Makasih ibu taraje” jawab
Diza sambil berteriak yang berusaha membela walaupun suaranya terdengar seperti
kaleng rombeng.
Setahun sudah Pita dan
Arif menjalani hubungan yang berawal dari smz alias surat menyurat singkat.
Padahal ditengah peradaban yang secanggih ini masih saja ada orang yang hidup
di zaman flinstone. Orang-orang sibuk dengan pulza, mereka malah sibuk dengan
kertas. Memang terdengar kuno sih, tapi cara itu berhasil membuat mereka
kembali menjalin cerita cinta yang dulu kandas karena sikap kanak-kanak masa
SMP. Walaupun terasa berat Pita dan Arif jalani. Bagaimana tidak, mengantar
Pita kerumahnya saja bagai memberi umpan ke kandang singa yang siap menerkam,
selain karena sifat Pita yang takut akan sikap ibunya yang otoriter.
Itulah pacaran ala Pita
dan Arif seperti sinetron yang tak pernah berakhir, selalu ada saja
episode-episode yang tak mungkin kita tebak.
Matahari perlahan mulai
pergi meninggalkan langit, seperti biasa Arif menurunkan Pita di gang rumahnya,
bukan pintu rumahnya.
“Dah…dah…Rif, disini aja
takut mamah lihat dari jendela” kata Pita yang berusaha memaksa Arif untuk
menghentikan motornya.
“Ya udah besok jangan lupa
bawa buku harian kita di Risa” jawab Arif yang sedang menghentikan motornya.
“Oh ya hati-hati dijalan”
tambah Arif.
Itulah Arif yang tak
pernah bosannya menjalani hubungan seperti itu. Arif adalah sosok yang perfect
bagi Pita. Bagaimanapun Pita ngambek dan marah padanya , dia nggak pernah
sekalipun membalasnya dengan marah, malahan dalam hubungan ini, Ariflah yang
selalu mengalah.
* * *
Siang itu seperti biasanya
Arif menjemput Pita di sekolah. Seraut wajah itu tampak bosan dan jenuh akan
hubungannya dengan Pita, tapi ia berusaha menyembunyikan perasannya itu. Tak
berapa lama Pita menghampirinya dan langsung pergi memecah angin dijalanan.
“Rif, kok diam aja sih!”
kata Pita berusaha mencairkan suasana.
“Ah nggak, lagi gak mood
ngomong aja” jawab Arif dengan dingin.
“Kok gitu sih jawabnya”
ketus Pita.
“Abis mau gimana lagi, toh
kamu juga biasanya gak pernah respect dengan jawaban aku” jawab Arif dengan
sedikit kesal.
“Loh kok gitu, kayaknya
ada yang aneh deh ma kamu!” kata Pita berusaha mencari sumber diamnya Arif.
“Apanya yang berubah, gak
ada deh perasaan. Aku tetep sama orang yang seperti dulu, tukang antar-antar
kamu kemana-mana, orang yang selalu denger keluh kesah kamu kalau lagi ngambek,
orang yang gak pernah protes kalau mau ngajak main pacarnya aja susahnya minta
ampun” jawab Arif yang terdengar sedikit berani mengungkapkan unek-uneknya
selama ini.
“Oh jadi selama ini kamu
gak ikhlas nih, ya dah kalau gitu maaf deh……!” rayu Pita dengan sedikit
mengalah.
“Ya udah sekarang neng
yang manis ini turun yah soalnya dah nyampe nih!” goda Arif membalas rayuan
Pita.
“Oh dah nyampe ya bang……” jawab Pita ala penyanyi Benjamin S
“Ya udah hati-hati ya,
jangan lupa besok jadikan jalan-jalannya?” Tanya Arif dengan penuh harapan.
“Ya kalau berhasil
ngebohongin mamah!” jawab Pita yang berharap agar diijinkan oleh ibunya.
“……………”Arif tidak
menjawab.
* * *
Seperti janjinya kemarin,
Pita dan Arif pun pergi jalan-jalan. Sungguh sebuah fenomena yang ganjil bagi
hubungan mereka, layaknya hantu di siang bolong, tapi itulah keadaan yang
sangat dimimpikan oleh Arif selama ini. Mereka pun pergi memecah jalanan yang
sepi.
Seketika langit yang cerah
mendadak menjadi gelap, angin semilir mengayun mata yang letih, langit indah
tak lagi nampak pada mata. Namun seberkas cahaya menuntun langkah pada kesadaran.
Seonggok tubuh itu lemas terlunglai pada sebuah kursi yang terikat. Dan sadar
dirinya terjaga pada ruangan yang gelap akan rasa, hampa tanpa kasih sayang,
sepi karena gemuruh jantung tak ada.
“Aku ada dimana………” resah
Pita sambil mencoba melepaskan ikatannya.
“Kamu ada disini ditempat
ini……………” munculah sesosok bayangan dari balik pintu, suara itu terdengar tidak
asing ditelinga Pita.
“……………” tanpa sepatah kata
terucap dari bibir Pita, ia merasa heran, kaget, marah, kesal, dan berusaha
menebak-nebak asal suara itu.
“Apa yang kamu lakukan Rif ,……… ini adalah sebuah tindakan bodoh yang tak mungkin
seorang Arif lakukan” ketus Pita dengan penuh was-was dan berusaha membuyarkan
pikiranya bahwa itu adalah Arif.
Ternyata tebakan Pita tidak
meleset, itu adalah Arif orang yang selau mengantarnya kemana-mana, orang yang
tak pernah sekalipun marah padanya walaupun dia sedang tidak mood, orang yang
selalu berusaha memahaminya dalam kondisi apapun.
“Apa kamu gak pernah
berfikir, apa yang telah kamu lakukan selama ini?” Tanya Arif dengan penuh
keangkuhan.
“Apa yang aku lakukan, aku
gak pernah berbuat salah padamu atau pada siapapun!Aku berusaha menjaga
cintamu, memberikan semua perhatianku padamu, tak ada yang salah dengan semua
itu” jawab Pita berusaha membela dan melepaskan ikatan yang ada di tangan dan
kakinya.
“Apa katamu gak ada yang
salah…………!” jawab Arif dengan sepele.
“Lalu apa salahku Rif, apa
salahku Rif…apa salahku…jawab Rif!” keluh Pita yang sudah letih berusaha
melepaskan ikatannya.
“Kamu masih tanya apa salahmu……,
kamu mau tau apa salahmu!” jawab Arif sambil mengitari kursi jeruji yang tak
tampak itu.
“Apa perlu aku jelasin
satu persatu agar kamu ingat apa salahmu” sambung Arif.
“……………” Pita tidak
menjawab, hanya isak tangis yang semakin keras dan tak henti mengisi ruangan
hampa itu.
“Sudah jangan menangis,
percuma kau menangis tak ada yang mendengarmu disini” ketus Arif pada Pita.
Bukannya semakin pelan
tangis itu, malah semakin memecah ruang hampa yang tak ada sedikitpun cahaya.
“Kau tau apa yang kau lakukan……kau
ingat 3 tahun yang lalu saat kau mencampakkan diriku karena sebuah hal yang
sepele, kau tau ketika itu dirimu adalah orang yang paling aku butuhkan, ketika
diriku terjatuh dalam titik terendah keputusasaanku, dimana aku harus membayar
hutang keluargaku, saat itu kamu dimana hah………” tutur Arif dengan kesal.
“Kenapa waktu itu kamu gak
cerita atau pinjam uang padaku………?” jawab Pita dengan lemas.
“Apa……hah……memang pernah kau
berpikir sedikit tentang diriku, tidak sedikitpun. Aku hanya dijadikan kamuflase
dari rasa yang kau inginkan, aku hanya jadi seonggok patung palsu yang
menemanimu sebagai status” jawab Arif yang mengeluarkan semua keluh kesahnya
yang selama ini terpendam.
“Tapi……ta…pi…aku gak
bermaksud untuk seperti itu Rif , mungkin waktu
itu aku masih SMP yang belum berpikir sejauh itu. Tapi aku yang sekarang beda Rif ” kata Pita yang berusaha mempertahankan hubungannya
yang berada di ujung tanduk.
“Apakah dengan kamu yang
sekarang membawa perbedaan yang berarti, gak bagiku. Kau tetap menjadi sosok
yang angkuh, tak peduli akan orang disekitarmu, kau menyerahkan hidup pada
kepasrahan, dan selalu berpikir pendek untuk hal apapun” kata Arif dengan
panjang lebar.
“Ta…pi…tapi….”belum selesai
Pita menjawab, Arif kemudian memotongnya.
“Masih belum cukup juga. Kau
tau seorang wanita kumel dan lusuh yang selalu kau ledek dengan sebutan
`pengemis sampah masyarakat` itu, ia adalah orang yang selalu berusaha hidup
meskipun hidup tak memberikannya kemudahan, dia selalu tersenyum meskipun di
punggungnya terbebani beban berat seorang anak yang sedang tumbuh menjadi
remaja, sedangkan kau tidak pernah berusaha untuk memperbaiki hubungan ini, kau
hanya pasrah dan menyerahkan semuanya pada ibumu tanpa ada usaha yang kau
lakukan” tambah Arif.
“Tapi Rif, diakan cuma seorang
pengemis, kenapa kau bawa-bawa dia dalam masalah ini” jawab Pita meremehkan
wanita itu.
“Ya…………itulah kau, bagimu
semuanya cuman dan tak penting, bagimu mungkin diriku juga tak penting, kau mau
tau wanita itu siapa……?” tanya Arif.
“Siapa Rif, jangan bilang
kalau itu…………” belum selesai menjawab Arif pun kembali memotong perkataan Pita.
“Ya dia adalah ibuku, orang
yang memberiku cahaya dalam kegelapan, orang yang selalu tersenyum walaupun
beban berat ada di pundaknya, orang yang membangkitkanku dari keputusasaan saat kau mencampakkan diriku, dimana semangat
hidupku mulai redup” jawab Arif dengan jelas.
“Apa yang kau bilang Rif , dia ibumu…itu gak mungkin. Tapi…itu sebuah hal yang
mustahil, sekarang kan
kau………” jawab Pita dengan heran.
“Ya dulu aku bukan
siapa-siapa tapi kini aku lain, aku berusaha bangkit dan akhirnya aku bisa
seperti ini” kata Arif seperti ingin membuktikan pada Pita.
“Rubahlah dirimu mulai saat
ini, tak ada kata terlambat untuk berubah, maaf aku gak bermaksud untuk
menyakitimu, aku hanya ingin kau berubah dan menilai orang dari sudut pandang
yang berbeda. Jangan pernah berfikir aku adalah pembunuh yang terobsesi akan
cinta” tambah Arif yang semakin lama terasa menjauh dari ruangan itu.
“Rif……Rif……Rif
kamu mau kemana?” Tanya Pita yang berusaha menahan Arif untuk pergi.
“Maafin aku Rif …………!” teriak Pita.
Perlahan keadaan di sekitar
menjadi hening dan sepi. Terdengar rintik hujan berhenti sedikit demi sedikit,
gelap kembali menyelimuti mata, angin berhembus begitu kencang hingga
mengayunkan badan pada kesadaran. Tubuh itu masih terbujur kaku dalam kursi
yang tak beradab.
Pita bingung apa yang
terjadi padanya dalam sedetik yang lalu, ia terbawa dalam dimensi yang membuat
dirinya sadar akan hidup. Ia pun masih ketakutan, keringat dingin bercucuran
dari tubuhnya, tanganya begitu lemas dan bergetar. Ia tampak bingung, ia hanya
bisa berteriak dan menangis sekencang-kencangnya dalam ruangan sepi itu. Ia
masih syok dengan pengalaman yang baru saja ia lalui.
“Akh………………………………………………………………”teriak
Pita.
“Wah………wah………Za, gawat
kayaknya kita batalin deh rencana kita buat ngerjain dia, lihat aja tuh si Pita
udah kayak ayam kehilangan induknya aja” ujar Risa yang ketakutan dengan
teriakan Pita.
“Ya nih Za, telinga aku
rasanya mau pada lari denger teriakan si Pita!” tambah Nira yang sama takutnya.
“Ah paling-paling itu
taktiknya si Pita aja biar kita ngegagalin rencana kita!” kata Pita yang
berusaha mempertahankan rencana awalnya.
“Ah kamu ini gimana Za,
lihat aja tuh badan si Pita udah kayak orang yang mandi dua bak” jawab Nira
yang udah setengah mati ketakutan.
“Ya Za, mang kamu mau nanti
kena damprat penjaga sekolah!” tambah Risa.
“Ah itu mah gampang bisa
diatur, mang dulu kamu gak rasain aku dikerjain ma dia abis-abisan!” jawab Diza
yang setengah dendam.
“Masalahnya sekarang bukan
urusan siapa yang sakit dan disakitin, tapi mangnya kamu mau nanti jadi artis
BUSER!” kata Nira sambil bercanda.
“Ah kamu Ra, mang aku ini
cewek apakah, wong aku cuman ngerjain dia aja kok!” jawab Diza.
“Yey……kamu dibilangin tuh
ya!” sambung Nira.
“Eh udah….udah kok malah
berantem, trus si Pita nya kita gimanain, liat tuh di malah jadi nangis, buruin
dong mikirnya!” desak Risa yang semakin resah.
“Kamu sih Za………” kata Nira
menyalahkan.
“Yey………kamu juga” balas
Diza.
“Eh ya ampun ni kodok ma
cicak gak akur-akur” keluh Risa pada dua temannya.
“Risa………………!” kata Nira dan
Diza bersama-sama.
“Kamu ngasih perumpamaan tuh
yang bagusan dikit napa!” keluh Diza
“Ya nih Sa, masa kamu katain
aku ma Diza, kodok ma cicak” tambah Nira mendukung.
“Ya udah………udah jangan
dibahas, trus kita gimanain si Pita tuh!” desak Risa.
“Ya udah……udah……dengan
terpaksa deh kita lakukan rencana B!” kata Diza dengan terpaksa.
“Ya dah, ayo kita samperin
Pita” ajak Nira.
“Eh ya kita bagi tugas aja
biar cepat, Nira kamu sms anak-anak yang lain kasih tau kalau kita jalanin
rencana B, kamu Za nyalain tuh lilin!” perintah Risa pada Diza dan Nira.
“Siap boz…!” jawab Nira
dan Diza singkat.
“Gimana Ra, udah belum
ngesms anak-anaknya!” desak Risa.
“Bentar dong Sa, belibet
nih tangannya” jawab Nira sambil mengetik sms.
“Kamu Za!” Tanya Risa pada
Diza.
“Rebes boz, Nira tuh
yang dari tadi gak selesai-selesai
ngetik sms, segitu aja kok ribet!” ledek
Diza.
“Kamu tu yah mau ngajak
ribut lagi nih……ayo siapa takut!” balas Nira dengan kesal.
“Eh udah…udah… kapan
selesainya dong!” kata Risa berusaha mendamaikan Diza dan Nira.
“Udah Sa, udah terkirim,
ayo kita samperin si Pita lihat tuh anak-anak udah siap-siap” ajak Nira.
“Ayo kita serang……BANZAI!”
kata Diza dengan semangat.
“Lebai amat kamu Za, si
Amat juga gak lebai-lebai banget!” kata Nira yang merasa jijik dengan sikap
berlebihan Diza.
Seketika Pita diam
sejenak, ia tidak terlalu meghiraukan lagu Happy Birthday yang dinyanyikan oleh
teman-temannya. Ia hanya teringat dengan kata-kata yang diucapkan Arif padanya
tadi. Tapi lagu Happy Birthday itu terus saja terdengar dan memecah sepi yang
tadinya memenuhi ruangan itu.
Sekarang ruangan itu bak
sebuah pesta penuh dengan balon-balon dan hiasan ulang tahun lainnya. Seketika
suasanapun mencair menjadi gemuruh oleh suara teman-teman Pita yang sejak
kemarin memang sudah merencanakan semuanya secara sempurna. Diza pun membuka
penutup mata yang dari tadi menutup mata Pita.
“Hey bangun Ta, udah dong
nangisnya kita kan cuma bercanda, SURUPISE gitu!” kata Diza berusa mencairkan
suasana.
“Ah kamu Za, belaga pake
bahasa Inggris segala bilang SURPRISE aja SURUPISE” ledek Nira yang dari tadi
memang tidak mau kalah dari Diza
“Yey biarin yang penting
mah gahu…gahul…gitu lohl!” bela Diza.
“Ya ampun
Diza………………Nira……………!Lama-lama aku strez tau lihat kamu berdua ledek-ledekan
terus!” kata Risa yang sudah kesal dengan perbuatan mereka berdua.
“Ya maaf itu mah spontan
bu……!” jawab Nira dan Diza bersama-sama
Akhirnya Pita pun berusaha
berbicara, walaupun suaranya terdengar sedikit serak karena menangis dari tadi.
Pertama yang ada dipikiran Pita dari tadi hanyalah Arif, ia pun langsung
menanyakan Arif pada Risa.
“Sa, kamu lihat Arif gak?”
Tanya Pita dengan cemas.
“Gak tau Ta, padahal dia loh
yang ngerencanain ini semua buat kamu” jawab Risa.
“Termasuk dia yang rencanain
ngomong soal ibunya, soal aku yang banyak melakukan salah padanya, soal aku
yang mencampakkan dia waktu SMP” kata Pita tanpa henti.
“Gak ada, dari tadi kamu
cuma tidur, lumayan lama sih sekitar 15 menitan trus waktu kamu bangun, teriak
deh sama nangis!Mangnya napa gitu Ta?” kata Risa menjelaskan.
“Berarti tadi aku….?!?!”
kata Pita penuh dengan kebingungan.
“Yaiyalah mimpi masa
kenyataan, wong dari tadi kamu tidur kok. Kami semua yang ada disini juga jadi
saksi kalau kamu tidur, itu mang ide aku sih. Tadi pas kamu minum di kantin
waktu nungguin Arif jemput, aku masukin obat tidur tapi dikit kok, gak bakalan
over dosis, tenang itu sudah sesuai takaran sewajarnya he…he…” jawab Diza sambil cengengesan.
“Malahan tadinya si Nira mau
ceburin kamu ke got………Eh tapi kamunya malah teriak dan nangis jadi gagal deh
rencana kita” sambung Nira.
Ketika teman-teman Pita
sibuk memotong kue ulang tahun itu, ia masih saja berusaha mencari Arif di
kerumunan teman-temannya. Tampaklah sososok bayangan tinggi menjulang yang
terlihat dari kejauhan. Ia hanya tersenyum kecil pada Pita, dan pergi begitu
saja tanpa menghiraukan panggilan Pita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar