Minggu, 28 Oktober 2012

Dimensi Itu


Cerpen

Dimensi Itu
Karya: Tini Bahagiani

            Sosok itu begitu tegap duduk diatas motornya yang terlihat bersinar di tengah teriknya matahari. Semua orang akan iri jika melihat tubuhnya yang tinggi menjulang, dan senyum kecil tersimpul di pipinya.
            “Hai Ta, gimana sekolahnya!” kata Arif dengan tersenyum kecil.
            “Akh…ya biasa makananku sehari-hari Fisika, Kimia, Matematika, Biologi dan semua teman-temanya” keluh Pita.
“Aduh….aduh yang dijemput pacarnya ehm……ehm……mau nih” goda Nira memotong pembicaraan Pita dan Arif.
“Iya nih kok gak bagi-bagi sih………”sambung Diza dengan mata yang berkelip.
“Apaan sih kamu Za, yey mang roti dibagi-bagi, kalau mau mah cari atuh neng, bukannya nunggu sampe lumutan kayak gitu………”saut Pita sambil menaiki motor.
“Idih……idih……ini mah bukan lumutan tapi bulukan ha……ha……!” jawab Diza sambil cengengesan yang terdengar memang masih mempertahankan bahasa sundanya. Yah.. walaupun karena terkena efek global warming akhir-akhir ini, bahasa sundanya pun terdengar campur aduk dengan bahasa indonesia.  
“Sama aja kali Za” keluh Nira yang sudah maklum dengan sifat Diza.
“Gak-gak sekarang bener ngebelanya, yey……belum ada aja pangeran yang lihat mutiara-mutiara indah ini, haaa……sekarang benerkan ye……tumben ya aku cerdas he…he…!”sombong Diza berusaha membela kaum jomblonya sekaligus memuji dirinya sendiri.
“Ah udah ah daaah………neng-neng jomblo” jawab Pita dengan meledek.
“Makasih ibu taraje” jawab Diza sambil berteriak yang berusaha membela walaupun suaranya terdengar seperti kaleng rombeng.
Setahun sudah Pita dan Arif menjalani hubungan yang berawal dari smz alias surat menyurat singkat. Padahal ditengah peradaban yang secanggih ini masih saja ada orang yang hidup di zaman flinstone. Orang-orang sibuk dengan pulza, mereka malah sibuk dengan kertas. Memang terdengar kuno sih, tapi cara itu berhasil membuat mereka kembali menjalin cerita cinta yang dulu kandas karena sikap kanak-kanak masa SMP. Walaupun terasa berat Pita dan Arif jalani. Bagaimana tidak, mengantar Pita kerumahnya saja bagai memberi umpan ke kandang singa yang siap menerkam, selain karena sifat Pita yang takut akan sikap ibunya yang otoriter.
Itulah pacaran ala Pita dan Arif seperti sinetron yang tak pernah berakhir, selalu ada saja episode-episode yang tak mungkin kita tebak.
Matahari perlahan mulai pergi meninggalkan langit, seperti biasa Arif menurunkan Pita di gang rumahnya, bukan pintu rumahnya.
“Dah…dah…Rif, disini aja takut mamah lihat dari jendela” kata Pita yang berusaha memaksa Arif untuk menghentikan motornya.
“Ya udah besok jangan lupa bawa buku harian kita di Risa” jawab Arif yang sedang menghentikan motornya.
“Oh ya hati-hati dijalan” tambah Arif.
Itulah Arif yang tak pernah bosannya menjalani hubungan seperti itu. Arif adalah sosok yang perfect bagi Pita. Bagaimanapun Pita ngambek dan marah padanya , dia nggak pernah sekalipun membalasnya dengan marah, malahan dalam hubungan ini, Ariflah yang selalu mengalah. 
* * *
Siang itu seperti biasanya Arif menjemput Pita di sekolah. Seraut wajah itu tampak bosan dan jenuh akan hubungannya dengan Pita, tapi ia berusaha menyembunyikan perasannya itu. Tak berapa lama Pita menghampirinya dan langsung pergi memecah angin dijalanan.
“Rif, kok diam aja sih!” kata Pita berusaha mencairkan suasana.
“Ah nggak, lagi gak mood ngomong aja” jawab Arif dengan dingin.
“Kok gitu sih jawabnya” ketus Pita.
“Abis mau gimana lagi, toh kamu juga biasanya gak pernah respect dengan jawaban aku” jawab Arif dengan sedikit kesal.
“Loh kok gitu, kayaknya ada yang aneh deh ma kamu!” kata Pita berusaha mencari sumber diamnya Arif.
“Apanya yang berubah, gak ada deh perasaan. Aku tetep sama orang yang seperti dulu, tukang antar-antar kamu kemana-mana, orang yang selalu denger keluh kesah kamu kalau lagi ngambek, orang yang gak pernah protes kalau mau ngajak main pacarnya aja susahnya minta ampun” jawab Arif yang terdengar sedikit berani mengungkapkan unek-uneknya selama ini.
“Oh jadi selama ini kamu gak ikhlas nih, ya dah kalau gitu maaf deh……!” rayu Pita dengan sedikit mengalah.
“Ya udah sekarang neng yang manis ini turun yah soalnya dah nyampe nih!” goda Arif membalas rayuan Pita.
“Oh dah nyampe ya bang……” jawab Pita ala penyanyi Benjamin S
“Ya udah hati-hati ya, jangan lupa besok jadikan jalan-jalannya?” Tanya Arif dengan penuh harapan.
“Ya kalau berhasil ngebohongin mamah!” jawab Pita yang berharap agar diijinkan oleh ibunya.
“……………”Arif tidak menjawab.
* * *
Seperti janjinya kemarin, Pita dan Arif pun pergi jalan-jalan. Sungguh sebuah fenomena yang ganjil bagi hubungan mereka, layaknya hantu di siang bolong, tapi itulah keadaan yang sangat dimimpikan oleh Arif selama ini. Mereka pun pergi memecah jalanan yang sepi. 
Seketika langit yang cerah mendadak menjadi gelap, angin semilir mengayun mata yang letih, langit indah tak lagi nampak pada mata. Namun seberkas cahaya menuntun langkah pada kesadaran. Seonggok tubuh itu lemas terlunglai pada sebuah kursi yang terikat. Dan sadar dirinya terjaga pada ruangan yang gelap akan rasa, hampa tanpa kasih sayang, sepi karena gemuruh jantung tak ada.
“Aku ada dimana………” resah Pita sambil mencoba melepaskan ikatannya.
“Kamu ada disini ditempat ini……………” munculah sesosok bayangan dari balik pintu, suara itu terdengar tidak asing ditelinga Pita.
“……………” tanpa sepatah kata terucap dari bibir Pita, ia merasa heran, kaget, marah, kesal, dan berusaha menebak-nebak asal suara itu.
“Apa yang kamu lakukan Rif,……… ini adalah sebuah tindakan bodoh yang tak mungkin seorang Arif lakukan” ketus Pita dengan penuh was-was dan berusaha membuyarkan pikiranya bahwa itu adalah Arif.
Ternyata tebakan Pita tidak meleset, itu adalah Arif orang yang selau mengantarnya kemana-mana, orang yang tak pernah sekalipun marah padanya walaupun dia sedang tidak mood, orang yang selalu berusaha memahaminya dalam kondisi apapun.
“Apa kamu gak pernah berfikir, apa yang telah kamu lakukan selama ini?” Tanya Arif dengan penuh keangkuhan.
“Apa yang aku lakukan, aku gak pernah berbuat salah padamu atau pada siapapun!Aku berusaha menjaga cintamu, memberikan semua perhatianku padamu, tak ada yang salah dengan semua itu” jawab Pita berusaha membela dan melepaskan ikatan yang ada di tangan dan kakinya.
“Apa katamu gak ada yang salah…………!” jawab Arif dengan sepele.
“Lalu apa salahku Rif, apa salahku Rif…apa salahku…jawab Rif!” keluh Pita yang sudah letih berusaha melepaskan ikatannya.
“Kamu masih tanya apa salahmu……, kamu mau tau apa salahmu!” jawab Arif sambil mengitari kursi jeruji yang tak tampak itu.
“Apa perlu aku jelasin satu persatu agar kamu ingat apa salahmu” sambung Arif.
“……………” Pita tidak menjawab, hanya isak tangis yang semakin keras dan tak henti mengisi ruangan hampa itu.
“Sudah jangan menangis, percuma kau menangis tak ada yang mendengarmu disini” ketus Arif pada Pita.
Bukannya semakin pelan tangis itu, malah semakin memecah ruang hampa yang tak ada sedikitpun cahaya.
“Kau tau apa yang kau lakukan……kau ingat 3 tahun yang lalu saat kau mencampakkan diriku karena sebuah hal yang sepele, kau tau ketika itu dirimu adalah orang yang paling aku butuhkan, ketika diriku terjatuh dalam titik terendah keputusasaanku, dimana aku harus membayar hutang keluargaku, saat itu kamu dimana hah………” tutur Arif dengan kesal.
“Kenapa waktu itu kamu gak cerita atau pinjam uang padaku………?” jawab Pita dengan lemas.
“Apa……hah……memang pernah kau berpikir sedikit tentang diriku, tidak sedikitpun. Aku hanya dijadikan kamuflase dari rasa yang kau inginkan, aku hanya jadi seonggok patung palsu yang menemanimu sebagai status” jawab Arif yang mengeluarkan semua keluh kesahnya yang selama ini terpendam.
“Tapi……ta…pi…aku gak bermaksud untuk seperti itu Rif, mungkin waktu itu aku masih SMP yang belum berpikir sejauh itu. Tapi aku yang sekarang beda Rif” kata Pita yang berusaha mempertahankan hubungannya yang berada di ujung tanduk.
“Apakah dengan kamu yang sekarang membawa perbedaan yang berarti, gak bagiku. Kau tetap menjadi sosok yang angkuh, tak peduli akan orang disekitarmu, kau menyerahkan hidup pada kepasrahan, dan selalu berpikir pendek untuk hal apapun” kata Arif dengan panjang lebar.
“Ta…pi…tapi….”belum selesai Pita menjawab, Arif kemudian memotongnya.
“Masih belum cukup juga. Kau tau seorang wanita kumel dan lusuh yang selalu kau ledek dengan sebutan `pengemis sampah masyarakat` itu, ia adalah orang yang selalu berusaha hidup meskipun hidup tak memberikannya kemudahan, dia selalu tersenyum meskipun di punggungnya terbebani beban berat seorang anak yang sedang tumbuh menjadi remaja, sedangkan kau tidak pernah berusaha untuk memperbaiki hubungan ini, kau hanya pasrah dan menyerahkan semuanya pada ibumu tanpa ada usaha yang kau lakukan” tambah Arif.
“Tapi Rif, diakan cuma seorang pengemis, kenapa kau bawa-bawa dia dalam masalah ini” jawab Pita meremehkan wanita itu.
“Ya…………itulah kau, bagimu semuanya cuman dan tak penting, bagimu mungkin diriku juga tak penting, kau mau tau wanita itu siapa……?”  tanya Arif.
“Siapa Rif, jangan bilang kalau itu…………” belum selesai menjawab Arif pun kembali memotong perkataan Pita.
“Ya dia adalah ibuku, orang yang memberiku cahaya dalam kegelapan, orang yang selalu tersenyum walaupun beban berat ada di pundaknya, orang yang membangkitkanku dari keputusasaan  saat kau mencampakkan diriku, dimana semangat hidupku mulai redup” jawab Arif dengan jelas.
“Apa yang kau bilang Rif, dia ibumu…itu gak mungkin. Tapi…itu sebuah hal yang mustahil, sekarang kan kau………” jawab Pita dengan heran.
“Ya dulu aku bukan siapa-siapa tapi kini aku lain, aku berusaha bangkit dan akhirnya aku bisa seperti ini” kata Arif seperti ingin membuktikan pada Pita.
“Rubahlah dirimu mulai saat ini, tak ada kata terlambat untuk berubah, maaf aku gak bermaksud untuk menyakitimu, aku hanya ingin kau berubah dan menilai orang dari sudut pandang yang berbeda. Jangan pernah berfikir aku adalah pembunuh yang terobsesi akan cinta” tambah Arif yang semakin lama terasa menjauh dari ruangan itu.
“Rif……Rif……Rif kamu mau kemana?” Tanya Pita yang berusaha menahan Arif untuk pergi.
“Maafin aku Rif…………!” teriak Pita.
Perlahan keadaan di sekitar menjadi hening dan sepi. Terdengar rintik hujan berhenti sedikit demi sedikit, gelap kembali menyelimuti mata, angin berhembus begitu kencang hingga mengayunkan badan pada kesadaran. Tubuh itu masih terbujur kaku dalam kursi yang tak beradab.                         
Pita bingung apa yang terjadi padanya dalam sedetik yang lalu, ia terbawa dalam dimensi yang membuat dirinya sadar akan hidup. Ia pun masih ketakutan, keringat dingin bercucuran dari tubuhnya, tanganya begitu lemas dan bergetar. Ia tampak bingung, ia hanya bisa berteriak dan menangis sekencang-kencangnya dalam ruangan sepi itu. Ia masih syok dengan pengalaman yang baru saja ia lalui.
“Akh………………………………………………………………”teriak Pita.
“Wah………wah………Za, gawat kayaknya kita batalin deh rencana kita buat ngerjain dia, lihat aja tuh si Pita udah kayak ayam kehilangan induknya aja” ujar Risa yang ketakutan dengan teriakan Pita.
“Ya nih Za, telinga aku rasanya mau pada lari denger teriakan si Pita!” tambah Nira yang sama takutnya.
“Ah paling-paling itu taktiknya si Pita aja biar kita ngegagalin rencana kita!” kata Pita yang berusaha mempertahankan rencana awalnya.
“Ah kamu ini gimana Za, lihat aja tuh badan si Pita udah kayak orang yang mandi dua bak” jawab Nira yang udah setengah mati ketakutan.
“Ya Za, mang kamu mau nanti kena damprat penjaga sekolah!” tambah Risa.
“Ah itu mah gampang bisa diatur, mang dulu kamu gak rasain aku dikerjain ma dia abis-abisan!” jawab Diza yang setengah dendam.
“Masalahnya sekarang bukan urusan siapa yang sakit dan disakitin, tapi mangnya kamu mau nanti jadi artis BUSER!” kata Nira sambil bercanda.
“Ah kamu Ra, mang aku ini cewek apakah, wong aku cuman ngerjain dia aja kok!” jawab Diza.
“Yey……kamu dibilangin tuh ya!” sambung Nira.
“Eh udah….udah kok malah berantem, trus si Pita nya kita gimanain, liat tuh di malah jadi nangis, buruin dong mikirnya!” desak Risa yang semakin resah.
“Kamu sih Za………” kata Nira menyalahkan.
“Yey………kamu juga” balas Diza.
“Eh ya ampun ni kodok ma cicak gak akur-akur” keluh Risa pada dua temannya.
“Risa………………!” kata Nira dan Diza bersama-sama.
“Kamu ngasih perumpamaan tuh yang bagusan dikit napa!” keluh Diza
“Ya nih Sa, masa kamu katain aku ma Diza, kodok ma cicak” tambah Nira mendukung.
“Ya udah………udah jangan dibahas, trus kita gimanain si Pita tuh!” desak Risa.
“Ya udah……udah……dengan terpaksa deh kita lakukan rencana B!” kata Diza dengan terpaksa.
“Ya dah, ayo kita samperin Pita” ajak Nira.
“Eh ya kita bagi tugas aja biar cepat, Nira kamu sms anak-anak yang lain kasih tau kalau kita jalanin rencana B, kamu Za nyalain tuh lilin!” perintah Risa pada Diza dan Nira.
“Siap boz…!” jawab Nira dan Diza singkat.
“Gimana Ra, udah belum ngesms anak-anaknya!” desak Risa.
“Bentar dong Sa, belibet nih tangannya” jawab Nira sambil mengetik sms.
“Kamu Za!” Tanya Risa pada Diza.
“Rebes boz, Nira tuh yang  dari tadi gak selesai-selesai ngetik sms,  segitu aja kok ribet!” ledek Diza.
“Kamu tu yah mau ngajak ribut lagi nih……ayo siapa takut!” balas Nira dengan kesal.
“Eh udah…udah… kapan selesainya dong!” kata Risa berusaha mendamaikan Diza dan Nira.
“Udah Sa, udah terkirim, ayo kita samperin si Pita lihat tuh anak-anak udah siap-siap” ajak Nira.
“Ayo kita serang……BANZAI!” kata Diza dengan semangat.
“Lebai amat kamu Za, si Amat juga gak lebai-lebai banget!” kata Nira yang merasa jijik dengan sikap berlebihan Diza.
Seketika Pita diam sejenak, ia tidak terlalu meghiraukan lagu Happy Birthday yang dinyanyikan oleh teman-temannya. Ia hanya teringat dengan kata-kata yang diucapkan Arif padanya tadi. Tapi lagu Happy Birthday itu terus saja terdengar dan memecah sepi yang tadinya memenuhi ruangan itu.
Sekarang ruangan itu bak sebuah pesta penuh dengan balon-balon dan hiasan ulang tahun lainnya. Seketika suasanapun mencair menjadi gemuruh oleh suara teman-teman Pita yang sejak kemarin memang sudah merencanakan semuanya secara sempurna. Diza pun membuka penutup mata yang dari tadi menutup mata Pita.
“Hey bangun Ta, udah dong nangisnya kita kan cuma bercanda, SURUPISE gitu!” kata Diza berusa mencairkan suasana.
“Ah kamu Za, belaga pake bahasa Inggris segala bilang SURPRISE aja SURUPISE” ledek Nira yang dari tadi memang tidak mau kalah dari Diza
“Yey biarin yang penting mah gahu…gahul…gitu lohl!” bela Diza.
“Ya ampun Diza………………Nira……………!Lama-lama aku strez tau lihat kamu berdua ledek-ledekan terus!” kata Risa yang sudah kesal dengan perbuatan mereka berdua.
“Ya maaf itu mah spontan bu……!” jawab Nira dan Diza bersama-sama
Akhirnya Pita pun berusaha berbicara, walaupun suaranya terdengar sedikit serak karena menangis dari tadi. Pertama yang ada dipikiran Pita dari tadi hanyalah Arif, ia pun langsung menanyakan Arif pada Risa.
“Sa, kamu lihat Arif gak?” Tanya Pita dengan cemas.
“Gak tau Ta, padahal dia loh yang ngerencanain ini semua buat kamu” jawab Risa.
“Termasuk dia yang rencanain ngomong soal ibunya, soal aku yang banyak melakukan salah padanya, soal aku yang mencampakkan dia waktu SMP” kata Pita tanpa henti.
“Gak ada, dari tadi kamu cuma tidur, lumayan lama sih sekitar 15 menitan trus waktu kamu bangun, teriak deh sama nangis!Mangnya napa gitu Ta?” kata Risa menjelaskan.
“Berarti tadi aku….?!?!” kata Pita penuh dengan kebingungan.
“Yaiyalah mimpi masa kenyataan, wong dari tadi kamu tidur kok. Kami semua yang ada disini juga jadi saksi kalau kamu tidur, itu mang ide aku sih. Tadi pas kamu minum di kantin waktu nungguin Arif jemput, aku masukin obat tidur tapi dikit kok, gak bakalan over dosis, tenang itu sudah sesuai takaran sewajarnya he…he…” jawab  Diza sambil cengengesan.
“Malahan tadinya si Nira mau ceburin kamu ke got………Eh tapi kamunya malah teriak dan nangis jadi gagal deh rencana kita” sambung Nira.
Ketika teman-teman Pita sibuk memotong kue ulang tahun itu, ia masih saja berusaha mencari Arif di kerumunan teman-temannya. Tampaklah sososok bayangan tinggi menjulang yang terlihat dari kejauhan. Ia hanya tersenyum kecil pada Pita, dan pergi begitu saja tanpa menghiraukan panggilan Pita. 
    
                                                                                                  
                                                                                                   
                                                                                                   
        

     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar